Lanud
Adisutjipto terletak di sebelah timur kota Yogyakarta (± 8 kilometer)
dengan ketinggian ± 131 M dari permukaan laut. Dulunya, Lanud ini
bernama Pangkalan Udara Maguwo. Dibangun sejak tahun 1940 yang kemudian
mulai dipergunakan oleh Militaire Luchvaart (Belanda) pada tahun 1942.
Setelah terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang, maka
Pangkalan Udara Maguwo ini dijadikan sebagai salah satu tempat pemusatan
kekuatan udara Jepang di Indonesia.
Ketika Kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan (17 Agustus 1945), maka terjadilah gerakan perlucutan
senjata terhadap pendudukan Jepang di seluruh wilayah Indonesia. Di
Yogyakarta, selain dilakukan usaha untuk melucuti Tentara Jepang di
Kotabaru, pada tanggal 6 dan 7 Oktober 1945 juga dilakukan penyerangan
dan perebutan tempat pemusatan kekuatan udara Jepang di Pangkalan Udara
Maguwo.
Dalam pertempuran tersebut, 3 buah
pesawat udara sempat dilarikan, tetapi seorang pilotnya tertembak mati
sewaktu akan naik memasuki cockpit pesawatnya. Akhirnya tentara Jepang
menyerah kalah, sehingga seluruh Pangkalan Udara Maguwo termasuk kurang
lebih 50 pesawat udara dapat dikuasai dan di bawah penguasaan bangsa
Indonesia.
Dalam konferensi Markas tertinggi TKR
tertanggal 13 November 1945 diputuskan, bahwa segala sesuatunya yang
berhubungan dengan tugas-tugas penerbangan langsung diurus dan
diselenggarakan oleh Markas Besar Umum Bagian Penerbangan. Dan
berdasarkan keputusan tersebut, maka pada tanggal 17 Desember 1945
Komandan Divisi IX Yogyakarta menyerahkan wewenang dan penguasaan
Pangkalan Udara Maguwo kepada MBO ( dalam hal ini Marskas Besar
Tertinggi TKR Jawatan Penerbangan) beserta dengan pilot-pilotnya antara
lain : A. Adisutjipto (Laksamana Muda Udara Anumerta), A.D Tarsono
Rudjito (Mayor Udara Anumerta), sejumlah pesawat-pesawat dan
personelnya.
Sejak saat itu Pangkalan Udara Maguwo
diurus oleh Bangsa Indonesia yang menimal mempunyai pengalaman dalam hal
pekerjaan di bidang penerbangan dan mereka yang pernah mendapat didikan
pada Militaire Luchvaart atau Penerbangan di zaman Jepang. Pekerjaan
yang sangat berat itu dipelopori oleh A. Adisutjipto dan kegiatan yang
dilakukan diantaranya meliputi perbaikan-perbaikan, perawatan-perawatan
dan perombakan-perombakan terhadap pesawat-pesawat peninggalan /
perampasan Jepang yang kebanyakan sudah parah keadaannya mendekati
barang rongsokan, di samping mengadakan test flight yang sangat besar
resikonya. Hal ini semata-mata karena dorongan semangat untuk segera
menguasai wilayah udara.
Akhirnya, satu demi satu pesawat-pesawat
peninggalan / perampasan Jepang yang kebanyakan sudah parah keadaannya
mendekati barang rongsokan tersebut dapat disiapkan kembali. Bahkan
serangkaian percobaan penerbangan yang berhasil dilakukan sungguh sangat
mengagumkan, mengingat bahwa pesawat-pesawat udara Jepang ini sangat
asing bagi mereka, apalagi tidak adanya petunjuk-petunjuk yang dapat
dipergunakan; kalaupun ada buku-buku petunjuk tersebut selalu ditulis
dengan huruf Jepang. Beberapa percobaan penerbangan tersebut antara lain
:
- Pada tanggal 10 Oktober 1945 A.Adisutjipto berhasil menerbangkan sebuah pesawat Type “Nishikoren” BANTENG di Cibeureum (Tasikmalaya).
- Pada tanggal 28 Oktober 1945 penduduk Yogyakarta gembira dan bangga, karena untuk pertama kalinya dapat menyaksikan sebuah pesawat udara yang mempunyai identitas Merah Putih melayang-layang di atas Kota Yogyakarta. Pesawat udara ini adalah pesawat latih bersayap dua Type “Cureng” yang dikemudikan oleh A Adisutjipto.
- Pada tanggal 8 November 1945 telah tiba di Pangkalan Udara Maguwo sebuah pesawat udara bersayap satu tipe “Nishikoren” dari Pangkalan Udara Cibeureum (Tasikmalaya) yang dikemudikan oleh A. Adisutjipto dan A.D Tarsono Rudjito.
Agustinus Adi Sutjipto |
Serangkaian keberhasilan percobaan penerbangan itu membuat kepercayaan rakyat yang diberikan kepada Tentara Keselamatan Rakyat Jawatan Penerbangan semakin besar. Hal ini kemudian berhasil mendorong Pemerintah Indonesia untuk membentuk Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara.
Berdasarkan Penetapan Pemerintah No 6 /
S.D tahun 1946 tanggal 9 April 1946, maka terbentuklah Tentara Republik
Indonesia Angkatan Udara, dengan Komodor Udara R. Suryadi Suryadarma
menjadi kepala Staf Angkatan Udara Republik Indonesia dan Komodor Udara R
Sukarnen Martokusumo menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan udara serta
Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto menjadi Wakil Kepala Kedua Staf
Angkatan Udara. Peristiwa ini dikemudian hari tercatat sebagai Hari
Jadi TNI Angkatan Udara (TNI AU).
Dalam perjalanan sejarah, nama Agustinus
Adisutjipto memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah berdirinya
Angkatan Udara Republik Indonesia. Beliau merupakan pembina, perintis
serta penumbuh TNI AU. Beliau-lah putera Indonesia pertama yang
mendapatkan Brevet Penerbang Militer. Sebenarnya ada seorang lagi yakni
Sambujo Hurip yang telah gugur di masa Perang Dunia II. Tetapi ketika
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, hanya
Adisutjipto satu-satunya yang memiliki Brevet Penerbang Militer.
Selain berkarier di bidang kemiliteran, Adisutjipto juga seorang
diplomat yang cukup berhasil dalam menangani masalah-masalah sarana
pertahanan udara dengan luar negeri. Dari hasil misinya itu, beliau
mendapat bantuan tenaga pelatih dan instruktur dari negara-negara
sahabat, seperti Filipina dan India untuk Sekolah Penerbangan yang
sedang dibinanya. Di samping itu, juga mencari pinjaman atau membeli
pesawat terbang.
Untuk mencari dana guna pembelian
pesawat terbang ini, di dalam negeri sendiri diusahakan oleh Adisutjipto
dengan bergabagi cara, antara lain menyelenggarakan malam hiburan amal.
Misalnya pada “Malam Pembeli Bomber”. Saat itu diundang beberapa tokoh,
para pengusaha, dan dermawan. Dengan menyelenggarakan seperti itu
ternyata hasilnya cukup baik dalam memperoleh dana.
Dalam kunjungan ke India, oleh Sri
Jawaharlal Nehru telah diperkenalkan kepada Adisutjipto, seorang
industrialis India yang terkenal, Patnaik. Dalam pertemuan itu, Patnaik
akhirnya setuju untuk meminjamkan sebuah pesawat Dakota kepada
Pemerintah Indonesia untuk keperluan penerbangannya.
Kapergian yang kedua kali ditemani oleh
bekas dosennya yang juga sebagai kawan karibnya Prof. Dr. Abdurrachman
Saleh, untuk membawa pesawat Dakota VT-CLA yang telah dijanjikan oleh
Patnaik itu. Dari India mereka singgah di Singapura, di mana penguasa
setempat yakni Pemerintah Inggris dan juga Belanda telah mengizinkan
pesawat itu meneruskan perjalanannya ke Indonesia untuk mengangkut
obat-obatan.
Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947
di senja hari, pesawat Dakota VT-CLA bertolak dari Singapura menuju
Yogyakarta mengangkut obat-obatan bantuan Palang Merah Malaya kepada
Palang Merah Indonesia. Kepala Staf S. Suryadarma dengan mengendarai
jeep, secara khusus datang menyambutnya ke lapangan udara Maguwo.
Beberapa saat pesawat itu berputar-putar
mengelilingi landasan untuk mengadakan pendaratan, namun di luar dugaan
dari arah utara muncul dua buah pesawat pemburu Kittyhawk milik
Belanda, yang langsung memuntahkan pelurunya ke arah pesawat Dakota
VT-CLA yang tak bersenjata itu. Tembakannya tepat mengenai sasaran,
akibatnya keseimbangan pesawat itu hilang. Saat itu nampak pilot masih
berusaha mengadakan pendaratan darurat, namun pesawat terus meluncur
menabrak sebatang pohon yang akhirnya jatuh dan terbakar.
Peristiwa yang sangat menyedihkan ini
terjadi di dekat daerah Jatingarang, sebelah utara Ngoto dekat kali
Code. Ternyata hanya seorang penumpang saja yang selamat yaitu A. Gani
Handonocokro. Yang lain gugur semua yaitu :
Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto
Komodor Muda Udara Prof. Dr Abdurrachman Saleh
Penerbang berkebangsaan Australia A.N. Constantine
Co-pilot berkebangsaan Inggris R. hazelhurst
Juru Radio Opsir Udara Adisumarmo Wiryokusumo
Juru Teknik berkebangsaan India Bhida Ram
Nyonya Constantine
Zainal Arifin, wakil Perdagangan RI di Singapura
Dengan rasa duka yang mendalam, rakyat berjejal memadati jalan-jalan
yang dilalui iringan jenazah. Mereka ingin menyaksikan dan melepaskan
kepergian yang terkhir bagi pahlawan-pahlawannya itu. Peristiwa ini
sudah tentu merupakan pukulan berat yang dirasakan oleh Suryadarma
sendiri, karena telah kehilangan dua orang pembantu utamanya yang
terpercaya dalam pembangunan AURI.Komodor Muda Udara Prof. Dr Abdurrachman Saleh
Penerbang berkebangsaan Australia A.N. Constantine
Co-pilot berkebangsaan Inggris R. hazelhurst
Juru Radio Opsir Udara Adisumarmo Wiryokusumo
Juru Teknik berkebangsaan India Bhida Ram
Nyonya Constantine
Zainal Arifin, wakil Perdagangan RI di Singapura
Jenazah para pahlawan itu kemudian
dimakamkan di pekuburan Pakuncen Yogyakarta. Saat itu Bendera Merah
Putih, Union Jack (Bendera Inggris) dan Bendera India berkibar setengah
tiang tanda berduka cita. AURI telah kehilangan dua orang pelopor dan
pahlawannya demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mengenang peristiwa tragis
tersebut, maka oleh pihak pimpinan Angkatan Udara tanggal 29 Juli
ditetapkan sebagai Hari Bhakti TNI AU dan Untuk menghormati jasa-jasa
almarhum, nama beliau diabadikan sebagai pengganti nama Pangkalan Udara
Maguwo menjadi Pangkalan Udara Adisutjipto.
Membicarakan sejarah berdirinya
Pangkalan Udara Adisutjipto (Lanud Adisutjipto) pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari sejarah perjuangan TNI Angkatan Udara (TNI AU). Karena
memang, banyak peristiwa yang terjadi di Lanud Adisutjipto ini yang
melatarbelakangi terbentuknya TNI AU.
http://www.lanud-adisutjipto.mil.id
No comments:
Post a Comment